Salam

ASSALAMU ALAIKUM WR.WB, TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA

Minggu, 11 Maret 2012

LETAK KEPALA JENAZAH LAKI-LAKI SAAT DISHALATKAN

 
Penanya:
Drs. M. Sukoco, M. Sc., Bantul

Pertanyaan:
1.      Apakah dasarnya menshalatkan jenazah laki-laki kepalanya ke selatan?
2.      Sahkah jika saya turut menshalatkannya?
3.      Bagaimana jika saya tidak ikut menshalatkan dan mengajak orang lain seperti saya?

Jawaban:
Ketiga-ketiga pertanyaan saudara akan kami kerangkakan menjadi satu, karena ketiga pertanyaan itu satu dengan lainnya saling berkaitan.
Memang yang lazim dilakukan oleh masyarakat muslim tidak membedakan letak kepala mayyit laki-laki atau perempuan, biasanya kepalanya tetap berada di sebelah utara dan kakinya di sebelah selatan.
Namun begitu perlu saudara ketahui, bahwa ada pendapat sementara ulama membedakan letak kepala mayyit, yaitu mayyit laki-laki letak kepalanya berada di sebelah selatan dan mayyit perempuan letak kepalanya di sebelah utara. Keterangan seperti itu disebutkan dalam buku “Pedoman Shalat” karangan Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy pada halaman 467, begitu juga dalam buku “Koleksi Hadits-hadits Hukum” jilid 6 halaman 174 dari pengarang yang sama.
Shalat saudara tersebut sah, kita harus mentolerir perbedaan pendapatdalam masalah furu‘ (cabang), asal yang bersangkutan ada pegangannya, apakah itu hadits atau pendapat ulama sebagai suatu produk ijtihad. Kami dari Majelis Tarjih menganut prinsip boleh keberagaman dalam ibadah (tanawwu‘ fil-‘ibadah) asal ada dasar pegangannya. Karena itu, jangan saudara mengajak orang lain untuk tidak menshalatkan mayyit itu, karena semakin banyak orang yang menshalatkan mayyit, insya Allah, Allah akan mengampuni dosa-dosanya. Namun begitu, kalau saudara kurang mantap, boleh saudara tidak menshalatkannya, karena shalat jenazah itu hukumnya fardlu kifayah, bukan fardlu ‘ain. Lagipula melakukan ibadah itu harus ikhlas, ibadah yang tidak ikhlas tidak berpahala di hadapan Allah SWT. *th)
  


LAFADZ IJAB DALAM PERNIKAHAN


 Penanya:
Adang Sapri, NBM 519370
Bogor Jawa Barat

Pertanyaan:
Dalam Tanya Jawab Agama Jilid II cet. 2 halaman 165 tertulis lafadz ijab: “Hai Ali, aku nikahkan dan aku kawinkan kamu dengan anak perempuanku Fatimah dengan mas kawin Kitab al-Qur’an”. Kalau boleh saya usulkan lafadz ijab itu berbunyi: “Hai Ali, saya nikahkan dan kawinkan anakku padamu dengan mas kawin kitab al-Qur’an”.

Jawaban:
Kalimat yang tertulis dalam Tanya Jawab Agama Jilid II halaman 165, sebagaimana yang saudara maksudkan, adalah terjemahan dari kalimat berbahasa Arab:
يَا عَلِيُّ أَنْكَحْتُكَ وَزَوَّجْتُكَ بِنْتِي فَاطِمَةَ بِمَهْرِ اْلقُرْآنِ
Dasar kami menggunakan terjemahan yang demikian akan kami jelaskan sebagai berikut.

Menurut tata bahasa (qawa‘id) Indonesia kata dengan dan kata pada termasuk kata depan. Kata dengan mempunyai beberapa arti, yang di antaranya untuk menyatakan: hubungan kesertaan, hubungan kepemilikan dan sebagainya, sedang kata pada, menunjukkan tempat. Karena itu Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah berpendapat bahwa menggunakan kata dengan pada kalimat terjemahan di atas lebih tepat dari menggunakan kata pada. Sebagai rujukan dapat dilihat pada Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan WJS Purwadarminta tahun 1976 halaman 453. Pada kamus itu digunakan kata depan dengan. *km)



Kiyai Kharismatik


Pertanyaan :
  1.     Hukum mengagumi dan mengikuti seorang ulama atau kyai kharismatik, yang sekarang telah menjadi kyai sekuler.
  2.     Hukum fanatik terhadap madzhab atau ormas tertentu.
  
Jawaban :
Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, akan didahulukan menjawab pertanyaan kedua, yaitu hukum fanatik terhadap suatu madzhab atau ormas tertentu. Ada dua kata yang perlu diterangkan artinya dalam menjawab pertanyaan ini, yaitu kata ‘fanatik’ dan kata ‘madzhab’. Pada kamus umum bahasa Indonesia susunan Poerwodarminto terbitan Balai Pustaka tahun 1976 halaman 280, diterangkan bahwa arti fanatik ialah teramat sangat kuat kepercayaan (keyakinan) seseorang terhadap suatu ajaran, politik, agama dan sebagainya. Keyakian atau kepercayaan yang sangat kuat itu biasanya menimbulkan kepicikan dalam berpikir, sehingga kurang atau bahkan kadang-kadang tidak lagi menggunakan akal dan budi dalam mengikuti suatu ajaran, politik, agama dan sebagainya. Biasanya kefanatikan itu menimbulkan pengkultusan terhadap sesuatu benda, tempat, kelompok, golongan, keturunan, atau terhadap seseorang tertentu, seakan-akan yang dikultuskan itu adalah keramat, sakti, dan melebihi manusia biasa.
Fanatik yang demikian itu tidak sesuai dengan ajaran Islam. Al-Qur’an dan as-Sunnah memerintahkan kaum muslimin agar selalu menggunakan akal dalam memahami segala sesuatu yang ada, termasuk dalam memahami dan menafsirkan al-Qur’an dan as-Sunnah beserta seluruh ciptaan Allah SWT. Allah SWT berfirman :
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ (190) الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ(191)
Artinya : “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, dan dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata) : Ya Tuhan kami, tiadalah engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Mahasuci Engkau, peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Ali Imran {3} : 190-191)
Banyak ayat al-Qur’an yang memerintahkan kita agar menggunakan akal dan pikiran. Orang yang suka menggunakan akal dalam memikirkan sesuatu adalah orang yang suka tafakkur. Tafakkur menghasilkan ilmu dan kecerdasan, sedang fanatik menghasilkan kebodohan. Hal ini dipahami dari hadis :
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ النَّاسِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يَتْرُكْ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا { متفق عليه }
Artinya : “Dari Abdullah bin Amr bin ‘Ash, berkata : Aku telah mendengar Rasulullah s.a.w bersabda : ‘Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dengan serta merta dari hamba-hamba-Nya, tetapi ilmu itu tercabut dengan matinya para ulama. Sehingga apabila tidak ada orang alim, orang-orang mengangkat pemimpin yang bodoh, maka apabila ditanya, mereka berfatwa tanpa ilmu, sehingga mereka sesat dan menyesatkan’”. (Muttafaqun ‘alaih)
Kyai yang sekuler sebenarnya sama dengan orang yang tidak berilmu lagi sehingga fatwanya tidak layak lagi diikuti, apalagi telah bertentangan atau tidk sesuai lagi dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.
Abu Bakar r.a. berkata : “Ikutilah aku selama aku mengikuti Allah. Apabila aku durhaka kepada Allah tidak ada lagi kewajibanmu mengikutiku”. Para Imam mujtahid seperti Abu Hanifah, Malik bin Anas, Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal dan lain-lain, semua berfatwa yang isinya menyatakan bahwa ikutilah pendapat mereka selama pendapat mereka itu sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.
Kedua ialah kata ‘madzhab’. Kata ‘madzhab’ berasal dari kata dzahaba, yadzhibu, dzahaban, dzuhuban dan madzhaban, yang berarti pergi berjalan, berlalu, bahkan kadang-kadang berarti mati, sesuai dengan konteks dan pemakaiannya dalam suatu kalimat. Kemudian para ahli fiqih menjadikan kata ‘madzhab’ sebagai kata istilah yang berarti pendapat seorang mujtahid, kemudian pendapat itu diikuti oleh orang banyak atau suatu kelompok orang, karena mereka percaya kepada kebenaran pendapat itu. Dalam perjalanan sejarah ada kelompok orang yang tetap berpegang kepada arti ‘madzhab’ yang sebenarnya, yaitu mengikuti pendapat mujtahid yang dipercayainya itu, selama belum ada dalil yang lebih kuat yang dapat merubah pendapat itu, jika ada dalil yang lebih kuat maka meninggalkan pendapat itu dan ada pula kelompok orang yang tidak lagi mengikuti pendapat tersebut keseluruhannya, tetapi mereka tetap menamakan kelompok mereka dan membangsakan diri kepada imam ‘madzhab’ tersebut.
Pada masa Rasulullah s.a.w., masa Khulafaurrasyidin, masa tabi’in, masa tabi’it tabi’in, masa atba’ut tabi’in, masa imam-imam mujtahid belum dikenal kata ‘madzhab’ yang diartikan seperti arti yang sekarang. Kata ‘madzhab’ dikenal dengan arti yang sekarang mulai pada abad keempat Hijriyah (Munawar Khalil, 1956). Pada waktu itu pemerintah Bani Abbas dalam keadaan lemah, banyak daerah yang melepaskan diri dari kekuasaannya, seperti pemerintahan bani Saman di Turkistan, pemerintahan Bani Fathimiy di Afrika Utara, pemerintahan Buwaihi yang menguasai daerah Irak dan sebagainya. Pemerintahan Bani Abbas yang lemah ini mendapat serangan dari bangsa Tartar yang dipimpin Hulagu Khan, maka jatuhlah Kota Baghdad ke tangan mereka (656 H), dan Khalifah al-Mu’tashm dibunuh.
Maka timbullah kemunduran di dunia Islam dalam segala bidang. Di kalangan para ulama timbul pendapat bahwa mulai dari generasi mereka sampai akhir zaman nanti tidak akan muncul lagi para mujtahid sebagaimana para mujtahid yang hidup pada abad kedua dan ketiga Hijriyah, seperti Abu Hanifah (80-150 H), Malik bin Anas (93-179 H), Asy-Syafi’i (150-204 H), Ahmad bin Hanbal (164-241 H), dan lain-lain. Karena itu mereka berpendapat cukup mengikuti pendapat para imam mujtahid itu yang telah dibukukan oleh murid-murid mereka. Sejak itu para murid dan pengikut seorang imam mujtahid membanggakan dan mengagungkan imam-imam mereka masing-masing, seakan-akan imam mereka lebih dari imam yang lain. Pengikut-pengikut dan murid-murid imam mujtahid itulah yang mendirikan ‘madzhab’ sekalipun dalam pikiran imam mujtahid yang diagungkan mereka itu semasa hidupnya tidak pernah membayangkan bahwa mereka akan dijadikan imam suatu ‘madzhab’ (Muhammad Abu Zahrah, 1956).
Bila dilihat sejarah kehidupan para imam mujtahid itu dan murid-muridnya, mereka hanya beda pendapat dalam menetapkan hukum suatu masalah, namun mereka saling menghormati pendapat-pendapat itu. Begitu pula dalam kehidupan, mereka saling tolong-menolong. Abu Hanifah, Ja’far ash-Shadiq, Malik bin Anas berteman, bergaul bersama dan saling berdiskusi pada Madrasah Ahlul Bait di Madinah. Asy-Syafi’i, seorang pemuda yang cerdas di Mekah, tetapi miskin, oleh walikota Mekah dititipkan pada Malik bin Anas di Madinah. Maka Asy-Syafi’i tinggal dan belajar di rumah Malik bin Anas selama 9 tahun. Asy-Syafi’i pernah diselamatkan dari hukuman pancung oleh Abu Yusuf (murid Abu Hanifah dan ketua Mahkamah Agung Khalifah Bani Abbas waktu itu). Kemudian Asy-Syafi’i tinggal di rumah Abu Yusuf dan berguru kepadanya. Setelah Abu Yusuf meninggal dunia beliau berguru kepada Muhammad Hasan Asy-Syaibani, murid Abu Hanifah dan teman Abu Yusuf. Pada perguruan Muhammad bin Hasan inilah Asy-Syafi’i bertemu dengan Ahmad bin Hanbal, dan terjalinlah hubungan yang erat antara keduanya. Ahmad bin Hanbal memperkirakan bahwa tidak lama lagi Makmun akan diangkat memjadi khalifah. Sebagai seorang mu’tazilah, ia akan menangkap lawan-lawan politiknya termasuk golongan ahli sunnah. Karena itu Ahmad bin Hanbal menganjurkan kepada Asy-Syafi’i agar segera meninggalkan Kufah, dan sebaiknya pergi ke Mesir. Anjuran ini diterima oleh Asy-Syafi’i dan beliau pergi ke Mesir dan tinggal di rumah teman Ahmad bin Hanbal. Asy-Syafi’i memberi gelar Abu Hanifah dengan “‘Iyaalu ahlil fiqh” (cikal bakal ahli fiqh), sebagai tanda betapa tingginya penghargaan Asy-Syafi’i kepada Abu Hanifah. Dikatakan bahwa pendapat Asy-Syafi’i merupakan sintesa dari pendapat Abu Hanifah dan pendapat Malik.
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa fanatik kepada suatu madzhab itu tidak diajarkan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah. Yang boleh kita lakukan ialah ittiba’ (mengikuti) pendapat para ulama selama kita yakin bahwa pendapat yang dikemukakan oleh ulama atau kyai itu tidakmenyalahi al-Qur’an dan as-Sunnah. Pada saat kita mengetahui bahwa pendapat ulama atau kyai itu tidak sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah kita wajib meninggalkannya.

Jawaban pertanyaan pertama : Hukum mengagumi dan mengikuti seorang ulama atau kyai kharismatik yang sekarang telah menjadi kyai  sekuler.

Jawaban :
Menurut ajaran Islam bahwa kita wajib taat dan patuh kepada Allah SWt dan Rasul-Nya, Nabi Muhammad s.a.w.. Tunduk dan patuh kepada Allah, tuntunan dan petunjuknya terdapat dalam al-Qur’an. Sedang tunduk dan patuh kepada Rasulullah berarti kita melaksanakan perkataan, perbuatan, dan taqrirnya yang terdapat dalam as-Sunnah yang shahih dan maqbul. Yang dimaksud dengan taqrir Nabi s.a.w. ialah perkataan dan perbuatan Shahabat yang diketahui oleh Rasulullah tetapi Rasulullah tidak memberikan reaksi (tidak membenarkan dan tidak menyalahkan) terhadapnya.
Seabagaimana diketahu bahwa perkataan, perbuatan, dan taqrir Nabi s.a.w. itu mulai dibukukan pada permulaan abad kedua Hijriyah dan berakhir pada akhir abad ketiga Hijriyah. Hal ini berarti bahwa selama lebih dari satu abad Sunnah itu berada dalam hafalan Shahabat, kemudian diajarkan dan dihafal oleh Tabi’in. Kemudian Tabi’it Tabi’in mempelajari dan menghafal setelah menerima dari Tabi’in. Hal yang demikian dilakukan pula oleh Atba’ut Tabi’it Tabi’in sampai kepada perawi dan perawi membukukannya. Dengan demikian as-Sunnah sampai dibukukan terjadi alih hafal sekurang-kurangnya lima generasi, yaitu generasi Shahabat, Tabi’in, Tabi’it Tabi’in, generasi Atba’ut Tabi’it Tabi’in dan generasi perawi. Sebagaimana diketahui bahwa manusia itu tidak sama kemampuannya dan tidak sama pula nilainya. Ada yang pintar, ada yang kurang, ada yang banyak ilmunya ada yang kurang, ada yang dapat dipercaya, dan ada pula yang tidak dapat dipercaya, ada yang kuat hafalannya, ada yang kurang kuat dan sebagainya. Perbedaan tingkatan kemampuan dan nilai para sanad hadis ini menimbulkan perbedaan penilaian terhadap hadis yang sampai kepada kita. Karena itulah sebelum suatu hadis diamalkan perlu diteliti lebih dahulu, apakah hadis itu shahih sanadnya dan dapat diterima dengan arti tidak berlawanan dengan nash yang lebih kuat daripadanya.
Untuk meneliti sanad dan matan suatu hadis dapat dilakukan kaum muslimin pada masa kini, karena telah tersedia buku-buku yang menerangkan riwayat hidup orang-orang yang menjadi sanad suatu hadis. Demikian pula tentang matan hadis dapat diuji dengan nash yang lebih kuat daripadanya, seperti al-Qur’an dan as-Sunnah yang telah diakui kesahihan dan kemaqbulannya.
Banyak nash yang dapat dijadikan dasar bahwa kita wajib mengikuti Allah dan Rasul-Nya, ialah Allah SWT berfirman :
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ . قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ .
Artinya: “Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihimu dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’. Katakanlah: ‘Taatilah Allah dan Rasul-Nya. Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir’”. (QS. Ali Imran {3} : 311-32).
Baca juga al-Qur’an surat an-Nisa’ {4} : 59 ; al-Maidah {5} : 92 ; al-Anfal {8} : 20 ; an-Nuur {24} : 54 dan banyak ayat-ayat al-Qur’an yang lain yang senada dengan ayat di atas serta mengancam dengan siksa setiap orang yang tidak mengikuti perintah tersebut. Dan hadis Rasulullah s.a.w. :
عَن ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلهَ إَلاَّ اللَّهُ وَ أَنَّ محمَّدا رَسُوْل الله. وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصومِ رَمَضَانَ  { متفق عليه }
Artinya : “Dari Ibnu Umar r.a., ia berkata, bersabda Rasulullah s.a.w. : ‘Islam itu ditegakkan (di atas) lima perkara ; meyakini bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berhaji dan puasa bulan Ranadhan’”. (Muttafaqun alaih).
Meyakini Rasulullah s.a.w. sebagai salah satu fundamen Islam, maksudnya mengikuti dan taat melaksanakan yang termaktub pada sunnahnya.
Dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kita hanya wajib taat dan patuh hanya kepada Allah dan Rasul-Nya saja. Sedang dalam masalah duniawi kita boleh mengikuti ulil amri (pemerintah) selama pemerintah itu tidak menyimpang dari ajaran dan perintah Allah dan Rasul-Nya. Allah SWT berfirman :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (as-Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya.” (QS. an-Nisa’ {4} : 59).
Hal ini juga berarti bahwa kita boleh saja mengikuti siapa saja termasuk kyai kharismatik selama ia berpegang kepada al-Qur’an dan as-Sunnah ash-shahihah dan al-maqbulah.



Rabu, 07 Maret 2012

BOLEHKAH BERQURBAN 1 (SATU) EKOR KERBAU UNTUK LEBIH DARI 7 (TUJUH) ORANG? DAN HARAMKAH BANTUAN DANA UNTUK IBADAH HAJI DARI BUPATI YANG NON MUSLIM?

Penanya:
Ishaq KZ., S.Ag., Agen SM No. 2857 Barus
(disidangkan pada hari Jum'at, 22 Rabiul Awwal 1427 H / 21 April 2006 M dan 21 Rabiul Awwal 1427 H / 19 Mei 2006 M)


Pertanyaan:

1. Di daerah kami ada seorang ustadz memberikan fatwa: ‘Berqurban 1 (satu) ekor kerbau tidak harus 7 (tujuh) orang, tetapi dapat juga untuk 9 (sembilan), 14 (empat belas) atau 21 (dua puluh satu) orang sesuai kesepakatan dan kesanggupan bersama, dengan tujuan agar banyak orang yang dapat ikut berqurban’. Beliau beralasan hal ini sesuai dengan hadits Nabi saw. dari ‘Aisyah ra., bahwa beliau menyembelih dua ekor hewan qurban, yang satu untuk umatnya, yang mengucapkan dua kalimah syahadah, dan satunya lagi untuk Muhammad dan keluarganya.
2. Pak Hasan menolak dana bantuan menunaikan ibadah haji ke Makkah dari seorang Bupati yang non muslim, dengan alasan masih banyak sektor riil lainnya yang membutuhkannya. Sehingga bantuan tersebut beralih kepada orang lain. Pertanyaannya: Haramkah menerima bantuan demikian? Dan benarkah prinsip Pak Hasan padahal ia sangat berkeinginan menunaikan ibadah haji? Mohon penjelasan.


Jawaban:

A. Mengenai masalah qurban

Sebelum kami jelaskan, lebih dahulu kami kutipkan hadits-hadits mengenai ibadah qurban yang ada kaitannya dengan pertanyaan saudara:
1. عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ نَحَرْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْحُدَيْبِيَةَ الْبَدَنَةَ عَنْ سَبْعَةٍ وَالْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ. [أخرجه مسلم، كتاب الحج، نمرة: 350/1318: 602].
Artinya: “Diriwayatkan dari Jabir ibn Abdullah, ia berkata: Kami menyembelih hewan qurban bersama Rasulullah saw pada tahun Hudaibiyah seekor unta untuk tujuh orang, dan sapi untuk tujuh orang.” [Ditakhrijkan oleh Muslim, Kitab al-Hajj, No. 350/1318:602].
2. عَنْ جَابِرِ قَالَ ذَبَحَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ عَائِشَةَ بَقَرَةً يَوْمَ النَّحرِ. [أخرجه مسلم، كتاب الحج، نمرة: 356/1319: 603].
Artinya: “Diriwayatkan dari Jabir ia berkata: Rasulullah saw menyembelih hewan qurban untuk Aisyah seekor lembu pada hari nahar.” [Ditakhrijkan oleh Muslim, Kitab al-Hajj, No. 356/1319:603].
3. عَنْ بْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كُنَّا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي السَّفَرِ فَحَضَرَ اْلأَضْحَى فَاشْتَرَكْنَا فِي الْبَقَرَةِ سَبْعَةً وَفِي الْبَعِيْرِ عَشَرَةً. [رواه والترمذى والنسآئ].
Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata: Kami bersama Rasulullah saw dalam suatu perjalanan, kemudian datanglah hari raya Adlha, lalu kami berpatungan menyembelih lembu untuk tujuh orang dan unta untuk sepuluh orang.” [Ditakhrijkan oleh at-Turmudzi dan an-Nasa'i].
4. عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَمَرَ بِكَبْشٍ أَقْرَنَ يَطَأُنِى سَوَادٍ وَيَبْرَكُ فِي سَوَادٍ وَيَنْظُرُ فِي سَوَادٍ فَأُتِيَ بِهِ لِيُضَحِّيَ بِهِ فَقَالَ لَهَا يَا عَائِشَةُ هَلُمِّى اْلمُدْيَةَ ثُمَّ قَالَ: اِشْحَذِيْهَا بِحَجَرٍ فَفَعَلَتْ ثُمَّ أَخَذَهَا وَأَخَذَهُ فَأَضْجَعَهُ ثُمَّ ذَبَحَهُ ثُمَّ قَالَ بِسْمِ اللهِ اَللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ ثُمَّ ضَحَّى بِهِ. [أخرجه مسلم].
Artinya: “Diriwayatkan dari Aisyah ra., Nabi saw memerintahkan mengambil domba yang branggah (tanduknya menjulang tinggi), kakinya hitam, perutmya hitam dan matanya hitam, kemudian didatangkan domba tersebut kepada beliau untuk diqurbankan, lalu beliau berkata kepada Aisyah: Hai Aisyah, ambilkan pisau, lalu berkata, Asahlah pisau itu dengan batu asah, lalu Aisyah mengerjakannya, kemudian beliau mengambilnya dan mengambil domba, lalu beliau menelentangkan domba tersebut lalu menyembelihnya, kemudian bersabda: Dengan atas nama Allah, Ya Allah terimalah qurban ini dari Muhammad dan keluarga Muhammad dan dari umat Muhammad.” [Ditakhrijkan oleh Muslim; as-Shan'aniy, IV: 90].

Penjelasan:
Hadits yang diriwayatkan oleh Jabir (1), menjelaskan bahwa Nabi saw bersama shahabat menyembelih hewan qurban; satu unta untuk tujuh orang, dan satu lembu untuk tujuh orang. Hadits yang diriwayatkan oleh Jabir juga (2), menjelaskan bahwa Nabi saw menyembelih hewan qurban untuk Aisyah satu ekor lembu. Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas (3), menjelaskan bahwa Rasulullah saw bersama shahabat menyembelih hewan qurban; satu ekor lembu untuk tujuh orang, dan satu ekor unta untuk sepuluh orang.
Dari tiga hadits tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa satu lembu boleh diqurbankan untuk satu orang dan maksimal untuk tujuh orang, sedang seekor unta boleh untuk satu orang dan maksimal sepuluh orang, dengan melihat kondisi hewan tersebut.
Hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah (4), menjelaskan bahwa seekor domba hanya untuk satu orang. Doa Rasulullah saw yang disebutkan dalam hadits tersebut bukanlah berarti bahwa satu ekor domba atau satu ekor lembu atau unta boleh untuk banyak orang. Nabi Muhammad saw adalah Nabi bagi seluruh umat, maka wajarlah beliau berdoa untuk umatnya.



B. Mengenai masalah haji

Pada dasarnya haji hanya diwajibkan kepada orang yang mempunyai istitha'ah (kemampuan, baik biaya maupun kesehatan) jasmani dan rohaninya. Bagi orang yang tidak mampu tidak perlu minta bantuan ke mana saja, sebab ia tidak berkewajiban melakukannya. Tetapi apabila ada seseorang yang membantunya, boleh diterima atau ditolak, melihat harta yang dibantukan, bersih atau tidak. Jika diyakini bersih (thayyib), maka boleh diterima. Sebab hanya yang thayyib saja diterima Allah SWT. Dalam al-Qur'an Allah berfirman:
فِيْهِ ءَايَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَّقَامُ إِبْرَاهِيمَ وَمَنْ دَخَلَهُ كَانَ ءَامِنًا وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ اْلبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللهَ غَنِيٌّ عَنِ اْلعَالَمِيْنَ. [آل عمران (3): 97].
Artinya: “Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” [QS. Ali ‘Imran (3): 97].
Dalam hadits Nabi saw disebutkan sebagai berikut:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا ... [أخرجه مسلم، 1، كتاب الزكاة، نمرة: 65/1015: 448].
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Hai manusia, sesungguhnya Allah adalah Thayyib, dia tidak menerima kecuali yang thayyib (bersih dan halal) ...” [Ditakhrijkan oleh Muslim, I, Kitab az-Zakah, No. 65/1015: 448].

Penjelasan:
Pada surat Ali ’Imran (3) ayat 97, dijelaskan bahwa ibadah haji diwajibkan bagi orang-orang yang mempunyai istitha'ah, yaitu orang yang sanggup mendapatkan perbekalan dan alat-alat pengangkutan serta sehat jasmani, dan perjalanan pun aman, serta keluarga yang ditinggalkan terjamin kehidupannya. Maka apabila tidak mempunyai istitha'ah, tidaklah wajib menunaikan ibadah haji, tidak perlu minta bantuan dan sebagainya. Biaya untuk menunaikan ibadah haji pun harus thayyib (bersih dan halal), artinya bukan hasil usaha yang tidak halal, seperti hasil korupsi, hasil mencuri, hasil perzinaan dan sebagainya yang diharamkan Allah, sebagaimana ditegaskan dalam hadits Nabi saw, bahwa Allah adalah Thayyib, dan tidak menerima kecuali yang thayyib.
Berdasarkan keterangan singkat tersebut, maka biaya untuk menunaikan ibadah haji sebaiknya adalah hasil usaha sendiri. Apabila ada orang atau lembaga yang memberi bantuan, maka perlu diketahui bahwa biaya tersebut berasal dari usaha yang halal. Maka menurut kami, prinsip Pak Hasan sebagaimana tersebut dalam pertanyaan di atas adalah benar, bahkan perlu dicontoh, terlebih lagi dengan alasan mendahulukan kemaslahatan umum daripada kemaslahatan pribadi.

QURBAN 1 EKOR KAMBING UNTUK DIRI SENDIRI DAN ANGGOTA KELUARGA

 
Penanya:
Hamdi Arsal BA, NBM 506.791,
Kepala SMA Muhammadiyah Lahat


Pertanyaan:

Mohon Penjelasan terhadap materi Fatwa Agama pada Suara Muhammadiyah (SM) edisi 17-19 Muharram 1426 H halaman 29 pada kolom kedua baris pertama sampai ketiga yang berbunyi “Ada seseorang pada masa Rasulullah saw berqurban dengan seekor kambing untuk dirinya sendiri dan anggota rumah tangganya”.
Sepanjang pengetahuan/pemahaman kami, perintah berqurban itu didasarkan pada QS. al-Kautsar ayat 2 yang artinya maka shalatlah kamu dan berqurban. Ayat ini identik dengan perintah shalat Idul Adha kemudian menyembelih hewan qurban.
Terlepas arti ayat tersebut perintah shalat Idul Adha kemudian berqurban atau diartikan secara umum shalat wajib diiringi dengan pengorbanan, baik pengorbanan tenaga, fikiran, moral, dan lain-lain, yang menjadi masalah mengapa seseorang beribadah/berqurban lantas orang lain (termasuk keluarga) yang tidak ikut berqurban (sebab hanya satu ekor kambing) mendapat kebaikan (pahala) berqurban tersebut (nilainya). Dasar surat al-Zilzalah ayat 7-8.
Mohon jawaban dan dimuat di SM.


Jawaban:

Memang betul al-Qur’an menegaskan bahwa seseorang memperoleh pahala adalah hanya atas perbuatan (ibadah) yang ia lakukan. Di samping difahami dari surat al-Zilzalah ayat 7-8, juga lebih tegas disebutkan dalam surat an-Najm (53) ayat 39:
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى. [النجم (53): 39].
Artinya: “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” [QS. an-Najm (53): 39].
Dalam surat al-Baqarah (2) ayat 286 Allah SWT berfirman:
... لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ ... [البقرة (2): 286].
Artinya: “… ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya …” [QS. al-Baqarah (2): 286].
Dan dalam surat Yasin (36) ayat 54 Allah berfirman:
... وَلاَ تُجْزَوْنَ إِلاَّ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ. [يس (36): 54].
Artinya: “… dan kamu tidak dibalasi, kecuali dengan apa yang telah kamu kerjakan.” [QS. Yaasiin (36): 54].
Lalu, bagaimana dengan keterangan hadits tentang penyembelihan binatang qurban bahwa satu ekor kambing telah mencukupi untuk berqurban satu keluarga? Apakah tidak kontradiktif/ta‘arudl (saling bertentangan)?
Dalam menghadapi persoalan ini perlu diketahui tentang fungsi hadits di samping al-Qur’an. Dalam surat an-Nahl (16) ayat 44 Allah berfirman:
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ. [النحل (16): 44].
Artinya: “Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” [QS. an-Nahl (16): 44].
Dari ayat di atas para ulama menyimpulkan bahwa fungsi hadits terhadap al-Qur’an adalah sebagai البيان (al-bayan), yakni sebagai yang memberi penjelasan atau keterangan. Penjelasan hadits terhadap al-Qur’an oleh para ulama diklasifikasikan menjadi beberapa macam, di antaranya adalah:
1.      Bayan Taqrir, yaitu keterangan dalam hadits memperkuat yang telah diterangkan oleh al-Qur’an, seperti keterangan tentang wajibnya berpuasa Ramadlan setelah melihat hilal (awal bulan).
2.      Bayan Tafshil, yaitu keterangan dalam hadits yang memberi rincian keterangan dalam al-Qur’an secara ringkas, seperti keterangan tentang pelaksanaan atau tata cara melakukan ibadah shalat.
3.     Bayan Tafsir, yaitu keterangan dalam hadits yang menjelaskan maksud keterangan dalam al-Qur’an, seperti hadits yang menerangkan bahwa yang dimaksud dengan ayat: وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ. [البقرة (2): 187]., yang artinya: “dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” [QS. al-Baqarah (2): 187], adalah batas antara malam dan siang, sebagaimana diketahui bahwa larangan makan dan minum bagi orang berpuasa adalah di siang hari, yang batas awal siang yaitu terangnya antara benang hitam dengan benang putih atau waktu fajar.
4.      Bayan Tasyri‘, yaitu hadits yang menerangkan hukum yang tidak terdapat atau tidak diterangkan oleh al-Qur’an, seperti hadits yang menerangkan larangan perkawinan karena ada hubungan sepersusuan (radla‘ah).
5.      Bayan Taqyid, yaitu hadits yang menerangkan batas dari kemutlakan yang disebutkan oleh al-Qur’an, seperti hadits yang menerangkan batas mengusap tangan dengan debu sampai pergelangan tangan dalam melakukan tayammum.
6.      Bayan Takhsis, yaitu hadits yang menerangkan kekhususan dari ketentuan (hukum) umum yang disebutkan dalam al-Qur’an, seperti dalam ayat-ayat sebagaimana yang ditulis di atas, bahwa seseorang akan memperoleh pahala atas perbuatannya sendiri. Akan tetapi hadits membolehkan seorang anak melakukan ibadah haji untuk orang tuanya yang telah meninggal dunia.
Dalam hadits diterangkan antara lain:
جَاءَ رَجُلٌ مِنْ خَثْعَمٍ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّ أَبِي أَدْرَكَهُ اْلإِسْلاَمُ وَهُوَ شَيْخٌ كَبِيرٌ لاَ يَسْتَطِيعُ رُكُوبَ الرَّحْلِ وَالْحَجُّ مَكْتُوبٌ عَلَيْهِ أَفَأَحُجُّ عَنْهُ قَالَ أَنْتَ أَكْبَرُ وَلَدِهِ قَالَ نَعَمْ قَالَ أَرَأَيْتَ لَوْ كَانَ عَلَى أَبِيكَ دَيْنٌ فَقَضَيْتَهُ عَنْهُ أَكَانَ ذَلِكَ يُجْزِئُ عَنْهُ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَاحْجُجْ عَنْهُ. [رواه أحمد عن عبد الله بن الزبير].
Artinya: “Seorang laki-laki dari Bani Khats‘am menghadap Rasulullah saw, kemudian ia berkata: Sesungguhnya ayahku masuk Islam pada waktu ia telah tua, tidak dapat naik kendaraan untuk haji, padahal haji itu adalah wajib baginya. Bolehkah aku menghajikannya? Rasulullah saw bertanya: Apakah kamu anak tertua? Laki-laki itu menjawab: Ya. Rasulullah saw bersabda: Bagaimana pendapatmu jika orang tuamu mempunyai hutang, lalu kamu membayar hutang itu untuknya cukup sebagai gantinya? Laki-laki itu menjawab: Ya. Rasulullah saw bersabda: Hajikanlah dia.” [HR. Ahmad dari Abdullah ibn Zubair].
Dalam hadits lain diterangkan:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ امْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ إِنَّ أُمِّي نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ فَلَمْ تَحُجَّ حَتَّى مَاتَتْ أَفَأَحُجُّ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ حُجِّي عَنْهَا أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضِيَةً اقْضُوا اللهَ فَاللهُ أَحَقُّ بِالْوَفَاءِ. [رواه البخاري].
Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. bahwasanya ada seorang perempuan dari Juhainah datang kepada Nabi saw, kemudian ia berkata: Sesungguhnya ibuku pernah bernadzar untuk menunaikan ibadah haji, namun tidak menunaikannya sampai ia mati. Bolehkah aku menghajikannya? Nabi saw bersabda: Ya, hajikanlah ia. Bagaimana pendapatmu andaikata ibumu memiliki hutang, apakah kamu yang melunasinya? Perempuan itu menjawab: Ya. Nabi saw bersabda: Lunasilah hutang kepada Allah, karena Allah lebih berhak atas pelunasannya.” [HR. al-Bukhari].
Diterangkan pula bahwa seseorang boleh menghajikan saudaranya, sebagaimana diterangkan dalam hadits:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمِعَ رَجُلاً يَقُولُ لَبَّيْكَ عَنْ شُبْرُمَةَ قَالَ مَنْ شُبْرُمَةُ قَالَ أَخٌ لِي أَوْ قَرِيبٌ لِي قَالَ حَجَجْتَ عَنْ نَفْسِكَ قَالَ لاَ قَالَ حُجَّ عَنْ نَفْسِكَ ثُمَّ حُجَّ عَنْ شُبْرُمَةَ. [رواه لأبو داود وابن ماجه عن ابن عباس].
Artinya: “Bahwa Nabi saw mendengar seorang laki-laki mengucapkan talbiyyah atas nama Syubrumah. Nabi saw bertanya: Siapa itu Syubrumah? Laki-laki itu menjawab: Ia adalah saudara atau orang yang dekat denganku. Nabi saw bertanya: Apakah kamu telah berhaji untuk dirimu sendiri? Laki-laki itu menjawab: Belum. Nabi saw bersabda: Berhajilah untuk dirimu sendiri, setelah itu berhajilah untuk Syubrumah.” [HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah dari Ibnu ‘Abbas].
Demikian halnya dengan hadits yang menerangkan berqurban dengan sesekor kambing cukup untuk satu keluarga, yaitu hadits:
سَأَلْتُ أَبَا أَيُّوبَ اْلأَنْصَارِيَّ كَيْفَ كَانَتْ الضَّحَايَا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ كَانَ الرَّجُلُ يُضَحِّي بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ فَيَأْكُلُونَ وَيُطْعِمُونَ حَتَّى تَبَاهَى النَّاسُ فَصَارَتْ كَمَا تَرَى. [رواه ابن ماجه والترمذي عن عطاء بن يسار].
Artinya: “Saya bertanya kepada Abu Ayyub al-Anshari: Bagaimana kamu berqurban pada masa Rasulullah saw? Ia berkata: Bahwa seseorang pada masa Rasulullah saw berqurban dengan menyembelih kambing bagi dirinya dan anggota keluarganya, kemudian mereka makan dan membagikannya kepada orang lain sehingga mereka saling membanggakan diri. Maka jadilah hal itu sebagaimana yang kamu lihat.” [HR. Ibnu Majah dan at-Tirmidzi dari Atha’ Ibn Yasar].
Adalah merupakan bentuk aturan khusus dari keumuman sebagaimana yang terdapat pada ayat-ayat yang telah disebutkan.
Dengan pendekatan bayan takhsis ini, kiranya dapat menghilangkan kesan seolah-olah ada pertentangan (kontradiksi/ta‘arudl) sehingga diharapkan dapat menghilangkan pula kebingungan saudara. Wallahu a‘lam bish-shawab. *dw)